Tentang kejujuran

Hasna
3 min readFeb 14, 2022

--

cr: pinterest

Kejujuran itu adalah salah satu jenis kebenaran yang pahit dilakukan, tapi manisnya akan terasa jangka panjang, damainya akan menembus relung hati terdalam.

— Filosofi Langit, hal. 54

Kutipan diatas berasal dari novel yang baru-baru ini aku baca, judulnya Filosofi Langit karya Afifah Karim. Novel ini sangat kental dengan penerapan ilmu-ilmu psikologi khususnya dalam parenting, dan memang dilandasi oleh nilai-nilai agama Islam. Pada salah satu bab, penulis mencoba untuk menggambarkan perilaku dari seorang anak yang telah diinternalisasikan nilai-nilai kejujuran sejak kecil oleh sang Ibu.

Jadi, ada seorang anak yang masih duduk di sekolah dasar. Ayahnya, yang bekerja sebagai guru kesenian di sekolah yang sama dengannya, memberikan lembar soal dan memintanya untuk mengerjakannya. Setelah tahu bahwa itu adalah soal ujian yang sebenarnya, ia tidak lagi sekalipun membuka kertas soal yang setiap hari diberikan ayahnya itu. Ia pun belajar lebih keras setiap harinya untuk membuktikan bahwa ia bisa mendapatkan nilai bagus tanpa bantuan soal-soal tersebut. Ternyata, ia mendapatkan remedial pada pelajaran matematika. Ayahnya marah. Ia pun memberikan alasan kepada ayahnya bahwa ia ingin menjadi anak yang berdaya juang tinggi dan ingin menjadi anak yang berhati lurus, seperti ibunya yang berpesan untuk selalu jujur dalam kondisi apapun.

Huhu, salut banget sama anak yang udah bisa berpikir seperti itu — dulu pas aku seumuran anak itu mungkin belum terpikir sampai sejauh itu. Betul sih, menurutku juga, kejujuran itu sebetulnya benar-benar membiasakan seseorang untuk berdaya juang tinggi. Dalam hal apapun itu. Dengan kita yang nggak menyontek, kita sedang berjuang untuk memahami suatu ilmu dengan baik. Dengan kita nggak mencuri ataupun korupsi, kita berjuang untuk mendapatkan penghidupan dengan hasil jerih payah sendiri tanpa mengambil hak orang lain. Dengan kita mengakui kesalahan, kita sedang berjuang untuk menanggung akibat dari apa yang kita lakukan, tanpa melemparkan kesalahan kepada orang lain. Termasuk juga jujur kepada diri sendiri. Dengan jujur pada diri sendiri, kita sedang berjuang untuk menerima segala sesuatu yang ada pada diri kita dan lebih menghargainya.

Terus entah kenapa menurutku, selain membuat kita tahan banting dalam menjalani hidup, secara nggak langsung kejujuran juga melembutkan hati. Kita jadi lebih mudah untuk menghargai usaha orang lain, lebih mudah untuk memaafkan, dan lebih bersyukur atas apa yang sedang kita miliki. Terlebih, ketika kita telah jujur pada diri sendiri, kita jadi lebih bisa mengenal dan menerima apa adanya diri kita, sehingga kita nggak terlalu keras pada diri sendiri.

Memang, manisnya nggak terasa sekarang. Dengan kamu nggak nyontek, itu nggak menjamin kamu dapet nilai bagus walaupun udah berjuang sekuat tenaga belajar. Atau dengan memilih nggak korupsi, nggak menjamin tiba-tiba ada yang ngasih kamu duit cash langsung buat bayar hutang-hutang kamu sebagai balasannya. Tapi, bisa jadi jujurmu menjadi alasan mudahnya perjalanan karirmu di masa depan. Atau alasan atas sehatnya tubuhmu, atau orang tuamu, atau anak-anakmu. Atau bahagia dan tenang hidupmu kedepannya. Dan kebaikan-kebaikan lainnya, yang kita pun nggak tahu bentuknya seperti apa. Karena ada berkah di dalamnya, di dalam kejujuran itu.

Ah ya, aku jadi ingat pada bahasan yang belum lama disampaikan oleh mentorku. Tentang kisah seorang perempuan penjual susu yang menolak perintah ibunya untuk mencampurkan susu dengan air di malam hari karena takut kepada Allah yang Maha Melihat segala sesuatu, meski tak satupun mata manusia menyaksikannya. Kelurusan hati itu yang mengantarkannya menjadi pasangan hidup seorang laki-laki bernama ‘Ashim, yang merupakan salah satu anak dari seorang pemimpin Islam bernama Umar bin Khattab, sang penerus kepemimpinan Rasulullah yang kedua setelah Abu Bakar Ash-Shiddiq. Dari pernikahannya dengan ‘Ashim, ia dikaruniai seorang anak perempuan, yang dari rahim perempuan itu lahirlah seorang pemimpin yang menjunjung tinggi kejujuran dalam kepemimpinannya, yaitu Umar bin Abdul Aziz.

Itu mungkin contoh yang lumayan ekstrim. Namun, itu bisa membuktikan bahwa bahkan manisnya kejujuran bisa terasa sampai ke keturunan-keturunan kita :”)

Jadi, ini reminder juga untuk diriku sendiri. Jangan pernah meremehkan kejujuran sekecil apapun. Karena kita nggak tau, apa yang akan semesta berikan sebagai hadiah atas kelurusan hati kita, yang entah kapan datangnya, namun pasti akan disampaikan di tempat dan waktu yang tepat.

Wallahu a’lam :”)

#CeritadiFebruarike11

--

--